Retorika Antiklimaks SBY

Partai Nasdem - Gerakan Perubahan,
Prof. Dr. Bachtiar Aly , MA | Guru Besar FISIP Universitas Indonesia

Kalau saja diadakan kontes mengolah kata-kata dan menyusun kalimat indah yang menarik perhatian publik, sudah hampir dipastikan presiden kita DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono, secara aklamasi akan terpilih sebagai pemenang utama. Ia piawai dalam beretorika dan mempesona. Massa yang mendengar urai katanya dibuat kagum apalagi di masa kampanye sarat dengan janji-janji Pemilu dilontarkan. Pekik membahana ketika komitmen membangun negeri dan yel-yel antikorupsi didengungkan.

Apalagi ketika alunan suaranya mendendangkan lagu “Pelangi di Matamu” membuat massa semakin mabuk dalam larutan sukacita. SBY sudah pula membuktikan pesonanya dalam menghipnotis massa yang berjingkrak-jingkrak histeria. Memang masa-masa itu patut dikenang. Suatu memori melankolik yang sulit pupus dalam ingatan. Sungguh indah, tak kan terulang!

Sulit untuk disangkal bahwa Presiden RI yang ke-6 ini tutur katanya teratur, logika berpikirnya
tertib, alur bicaranya runut dan bahasanya bagus. Tepatnya Kepala Negara yang selalu tampil necis
dengan busana terpilih dan warnanya yang serasi dengan suasana acara, memang terbilang sebagai
pemimpin yang Bahasa Indonesia nya tergolong baik dan benar.

Sebagai kepala pemerintahan yang memimpin lebih dari seperempat miliar penduduk, beliau akrab
disapa dengan akronim SBY yang telah menjadi trademark yang sulit tertukar dengan warga Negara
yang lain. SBY memang bukan orang biasa. Ia adalah presiden yang mendapat mandat dari rakyat
dalam Pemilu Indonesia untuk memimpin bangsa dan negaranya.

SBY adalah tokoh puncak di republik ini yang pada masa periode pertama kepresidenannya terbilang
sukses. Tampil selalu percaya diri. Ayunan langkahnya diatur, pandangan matanya tertuju kepada
obyek yang diinginkan. Tak ada sorot matanya yang liar. Semua terkontrol.

Maju mundur, lihat ke samping, pandangan lurus ke depan, menunduk sejenak dan kembali kepala
tegak dengan mengumbar senyum atau menarik nafas dalam-dalam, terlihat pantas saja. Batuk pun
menjadi gaya. Dalam terminologi retorika, hampir semua wawasan para filosof sekaliber Aristoteles,
Sokrates, Plato dan Domesthenes diserapnya, diambil saripatinya.

Dengan motto maskotnya “Kita Bisa” mirip Presiden Obama “ Yes, We Can ”, SBY sang Demokrat
memang lihai berpidato. Memilah milih kata yang sekilas enak didengar tapi kadangkala sulit untuk
diulang oleh para pendengarnya SBY tampil serius dan sungguh-sungguh. Ia tak segan menegur
peserta kursus Lemhannas yang ketiduran atau menghardik kepala daerah yang tidak berperilaku
sebagai pemimpin yang berdisiplin.

Gaya pidatonya sarat dengan nuansa ilmu retorika. Ada gestik, mimik, tempo, lirik, diksi dan intonasi
yang perfek dan terkendali. Memang merajut kata menjadi bahasa yang indah menurut Cicero,
pakar retorika klasik, adalah kekuatan seorang Orator. SBY punya itu! Maaf, dalam tulisan ini hanya
difokuskan pada retorika dan secuil komunikasi politik SBY. Memang sengaja tidak menyinggung
orator kaliber dunia lain seperti John F. Kennedy, Hitler, Fidel Castro, Mussolini, bahkan Bung Karno
sang pemimpin besar revolusi. Orator ulung yang bicaranya mampu menyihir pendengarnya.

Semua gerak langkah SBY sangat diatur, sehingga patut ditengarai bahwa di balik itu semua ada
seorang koreografer yang mengaturnya, Ada sutradara yang dilibatkan, ada tim khusus yang stand
by selalu. Sampai disini tak ada yang salah. Ia menjadi masalah ketika semua itu menjadi antiklimaks.

Bagaimana mungkin bak halilintar di siang bolong SBY mendadak sontak pekan lalu mengumumkan
pada khalayak ramai bahwa dirinya terancam. Ada sekelompok orang aneh sebutlah suatu entitas
kekuatan hendak menggulingkan SBY dari tampuk kekuasaan. Dalam curahan hati (curhat) Presiden
yang diliput luas oleh media massa, beliau dan keluarganya merasa terancam.

Masyarakat tercengang, para politisi dan pengamat bereaksi. Bukan karena bersimpati tetapi heran
mengapa SBY menjadi melankolis meratapi diri. Bukankah kekuatan koalisi masih cukup solid, semua
pimpinan TNI dan Polri sangat loyal? Para anggota Kabinet tak hendak hengkang?

Namun begitu, kita menjadi tergelitik ketika petinggi BIN menyatakan bahwa tak ada ancaman
langsung kepada Presiden. Sebagai supporting system kepresidenan, informasi intelijen sepenting itu
sepatutnya langsung disampaikan kepada Presiden, bukan kepada yang lain!

Kesulitan hidup yang sulit menghimpit tak ada waktu orang mendengar curhat. Model pencitraan
seperti dizalimi untuk mengundang simpati dianggap sudah basi. Di tengah kegalauan hati
lebih kreatif menciptakan saja lagu “Pahamilah dikau BBM masih terjangkau”. Siapa tahu dapat
mengimbangi reputasi music composer David Foster.

Bahwa ada yang ngerumpi SBY tak sampai 2014 atau berspekulasi akan turun sendiri di tengah jalan
karena tak tahan tekanan boleh-boleh saja. Begitupun bagi mereka yang berkutat di dunia klenik
meramalkan alam sudah tak bersahabat lagi dengan beliau juga sah-sah saja. Tapi mengiba untuk
dikasihani menjadi tak elok ketika hampir setiap hari nyawa masyarakat pun sering terancam.

Kondisi obyektif memberi indikasi bahwa berdasarkan hasil survei, popularitas SBY cenderung
merosot. Citranya sedikit oleng, pesonanya meredup dan puja-puji kepadanya pun hampir nyaris tak
terdengar. Namun martabat Presiden patut kita jaga bersama. Jangan takut pada SMS ngawur, ada
makar tindak tegas. Para Menteri, ayo kerja keras lagi. Optimalkan Wantimpres. Rakyat paham kok
hati anda lagi gundah gulana. Untuk curhat dan meratap, undanglah teman lama.

Ingat, secara konstitusional dan prosedural pemakzulan, menurunkan Presiden bukanlah perkara
mudah. Sangat muskil dan sungguh sulit. Ibaratnya tanpa argumentasi politik yang sangat kuat, ia
akan berakhir seperti novel Mochtar Lubis berjudul “Jalan Tak Ada Ujung”.


Sumber Berita: www.swarakalibata.com
http://www.partainasdem.org/berita-retorika-antiklimaks-sby.html#ixzz2VDL5yGCx

0 komentar: